Dari ‘Ali, ada seorang budak mukatab (yang berjanji pada tuannya ingin memerdekakan diri dengan dengan syarat melunasi pembayaran tertentu) yang mendatanginya, ia berkata, “Aku tidak mampu melunasi untuk memerdekakan diriku.” Ali pun berkata, “Maukah kuberitahukan padamu beberapa kalimat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya padaku yaitu seandainya engkau memiliki utang sepenuh gunung, maka Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah doa,
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak”
[Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang
halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan
karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu]
(HR. Tirmidzi no. 3563, hasan menurut At Tirmidzi, begitu pula hasan kata Syaikh Al Albani)Hanya Diarahkan untuk Berdoa
Lihat saja di sini, bukannya dibantu dengan uang, malah budak mukatab dibantu dengan diberikan tuntunan doa. Karena barangkali ‘Ali dalam hadits tersebut tidak memiliki uang untuk membantu, maka ia berikan solusi yang sangat menolong. Sama seperti itu adalah firman Allah Ta’ala,
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Baqarah: 263).Atau di sini ‘Ali memberi petunjuk pada hal yang lebih selamat yaitu meminta tolong pada Allah lewat doa, tanpa bergantung pada selain-Nya. Makna ini dikuatkan dengan isi doa “wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak (dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu)”.
Makan yang Haram
Makan makanan yang haram itu tanda seseorang dianggap jelek.Ibnul Qayyim berkata, “Tidaklah seseorang melakukan keharaman melainkan karena dua sebab: (1) berprasangka buruk pada Allah (suuzhan) karena jika saja ia mentaati Allah, pasti ia akan mentaatinya dengan mengonsumsi yang halal, (2) syahwat lebih dimenangkan dari sikap sabar. Yang pertama tadi tanda lemahnya kurangnya ilmu. Yang kedua, tanda lemahnya kesabaran. Dinukil dari Al Fawaid karya Ibnul Qayyim.
Makanan Haram Pengaruh Terkabulnya Doa
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ
فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا
صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ
إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ
حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ
لِذَلِكَ.
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik).
Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).
Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin
seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai
para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal
shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan
Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki
yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki
yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan
berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a:
“Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang
haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi
makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan
do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)Ibnu Rajab punya pernyataan yang baik mengenai hadits di atas, “Selama seseorang mengonsumsi makanan halal, maka amalan shalih mudah diterima. Adapun bila makanan tidak halal dikonsumsi, maka sudah barang tentu amalan tersebut diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 260).
Hanya Allah yang memberi petunjuk.
Referensi:
Kunuz Riyadhis Sholihin, Rois Al Fariq Al ‘Ilmi: Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdirrahman Al ‘Ammar, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1430 H.—
Selesai disusun di malam hari, 15 Muharram 1436 H di Darush Sholihin
Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc
Artikel Rumaysho.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar